Posts Subscribe comment Comments

FIKIH AVERROISME II

by : 
Irwan Masduqi 
Dinamika Islam Andalusia
Cordoba (Cordova), Andalusia, Spanyol Selatan, adalah tanah kelahiran Ibn Rusyd. Cordoba adalah salah satu provinsi Andalusia yang terletak di sebelah Sungai Guadalquivir. Kota ini didirikan oleh Claudius Marcellus dengan nama Corduba pada zaman Romawi Kuno. Pada masa kekuasaan Islam, orang Arab menyebutnya Qurthubah. Cordoba dibangun sebagai ibukota Dinasti Umayah Spanyol oleh Abdurrahman al-Dakhil. Puncak kejayaan dinasti Islam Eropa ini dicapai pada periode pemerintahan Abdurrahman al-Nashir (929-961 M) dan al-Hakam (961-976 M) yang ditandai dengan kemajuan di segala bidang.

Andalusia memiliki banyak pusat keilmuan, mulai dari Madrasah Cordoba, Sevilla, Almeria, Toledo, hingga Zaragoza. Ilmu bahasa dan ilmu-ilmu agama menyebar secara merata di kota-kota tersebut. Namun, masing-masing madrasah memiliki karakteristik yang menonjol di bidang keilmuan lain. Toledo dan Zaragoza lebih dominasi oleh matematika, astronomi, filsafat metafisika, dan kedokteran. Di Toledo terdapat astronomer terkemuka bernama al-Zarqali (Latin: Arzachel) dan matematikawan bernama al-Baghunsyi. Tak kalah dengan Toledo, Zaragoza memiliki Ibn Bajjah (Latin: Avempace) yang terkenal dalam bidang astromoni, logika, musik, filsafat, psikologi, dan sastra. Sedangkan Almeria merupakan central bagi gerakan gnostik di Andalusia, dimana ordo-ordo mistik berkembang di bawah bimbingan master sufi Ibn al-‘Arif, penerus madrasah tarekat Ibn Masarah al-Qurthubi.

Diantara kelima madrasah tersebut, Madrasah Cordoba dan Sevilla adalah yang paling berpengaruh. Sevilla adalah ibukota lama dan Cordoba adalah ibukota baru. Persaingan antar keduanya tidak hanya dalam ranah politik, melainkan menjalar pada persaingan kebudayaan. Cordoba dan Sevilla memiliki pakar-pakar dalam segala bidang, tetapi masing-masing kota memiliki keunggulan dalam bidang tertentu. Cordoba lebih menonjol dalam bidang pemikiran teoretis, sedangkan Sevilla menonjol dalam seni dan sastra. Hal ini diungkapkan sendiri oleh Ibn Rusyd kepada koleganya yang bernama Ibn Zahr (Latin: Avenzoar), “Jika ada orang alim meninggal dunia dan kitab-kitabnya akan dijual maka kitab-kitab tersebut dibawa ke Cordoba. Jika ada musisi yang meninggal kemudian alat musiknya akan dijual maka dibawa ke Sevilla”.

Dalam konteks internal, Cordoba adalah ibukota sekaligus pusat kebudayaan intelektual yang paling menonjol di Andalusia. Di sisi lain, dalam konteks eksternal dunia Islam, Cordoba terlibat dalam rivalitas dengan Dinasti Abasiyah di Baghdad dan Dinasti Fatimiyah di Cairo. Rivalitas ketiga dinasti tersebut tidak hanya terbatas dalam persoalan politik belaka, tetapi menjalar dalam bidang epistemologi. Dinasti Abasiyah mengusung corak teologi Mu’tazilah-Asy’ariyah dan madzhab fikih Hanafiyah, sedangkan di pihak lain Dinasti Fatimiyah mengusung fikih Syiah dan filsafat Bathiniyah. Dinasti Abasiyah bersenjatakan epistemologi bayani (retoris) vis a vis Dinasti Fatimiyah yang bersenjatakan epistemologi irfani (gnostik). Untuk menguatkan ideologi dan epistemologi masing-masing, Dinasti Abasiyah mendapuk logika Aristoteles (mantiq) manakala Dinasti Fatimiyah mendapuk filsafat esoterik Hermetisisme. Rivalitas politik dan kebudayaan dua dinasti tersebut mengambarkan betapa kentalnya fanatisme sektarianistik Sunni Abasyiah dan Syiah Fatimiyah.

Di tengah-tengah rivalitas dua dinasti tersebut, Cordoba—sebagai kota paling representatif Andalusia—menyadari adanya tantangan untuk mendefinisikan identitas kulturalnya yang khas. Cordoba dituntut untuk mencanangkan “proyek kebudayaan baru” (al-masyru’ al-tsaqafi al-jadid) dalam rangka pencarian jati diri dan mempertahankan eksistensinya dari serangan kebudayaan Dinasti Abasiyah dan Fatimiyah. Dalam bidang fikih, Cordoba dan wilayah Andalusia lainnya diwarnai oleh corak orisinalitas fikih yang selaras dengan fikih para sahabat dan tabiin sejak penaklukan Islam pada tahun 92 H. Dinasti Umawiyah Andalusia awalnya menganut madzhab al-Auza’i yang diikuti oleh Bani Umayah di Damaskus. Madzhab Auza’i dinilai selaras dengan madzhab sahabat dan tabiin yang menaklukan Andalusia, yakni sama-sama bertumpu pada riwayat.

Pada periode berikutnya, Dinasti Umayah Andalusia mengetahui sikap politik Imam Malik, pendiri madzhab Malikiyah, yang lebih mendukung Dinasti Umawiyah ketimbang kebijakan-kebijakan politik Dinasti Abasiyah. Melihat adanya keuntungan secara politis, Dinasti Umayah berinisiatif mengadopsi madzhab Malikiyah—yang juga bertumpu pada riwayat sebagaimana madzhab Auza’i—sebagai madzhab resmi imperium Andalusia. Peresmian madzhab Malikiyah di Andalusia tak lain merupakan wujud implementasi dari proyek kebudayaan sekaligus manuver politik yang dicanangkan guna menandingi hegemoni kebudayaan Abasiyah dan Fatimiyah. Di sisi lain, dalam bidang filsafat, mula-mula Cordoba adalah kota yang steril dari filsafat Yunani. Namun, menyadari semakin ketatnya persaingan dengan kebudayaan Abasiyah dan Fatimiyah, Khalifah Abdurrahman al-Nashir dan al-Hakam al-Muntasir Billah bertekat mengumpulkan khazanah keilmuan filsafat dan pelbagai disiplin ilmu lainnya dari Baghdad, Mesir, dan kawasan Timur Islam lainnya. Inilah puncak kejayaan intelektual Dinasti Umawiyah Andalusia.

Sayangnya, kejayaan tersebut tidak berlangsung lama sebab pada tahun 1009 M Andalusia mengalami keruntuhan dan memasuki era muluk al-thawaif, masa perpecahan dan munculnya kerajaan-kerajaan kecil. Pada tahun 1086 M, perpecahan ini dapat disatukan kembali seiring dengan munculnya kekuasaan Dinasti Murabithin di Andalusia. Yang mengecewakan, Dinasti Murabithin justru lebih didominasi oleh kelompok agamawan penganut madzhab Maliki yang sangat konservatif. Hegemoni Malikiyah memang telah berlangsung lama sejak ditetapkan sebagai madzhab resmi Dinasti Umawiyah. Namun, hegemoni ini bermetamosfosis menjadi konservatisme radikal pada masa Murabithin. Ironisnya, konservatisme ini mendapatkan legitimasi dari Ali bin Yusuf bin Tasyfin, Amir Dinasti Murabithin. Untuk mengilustrasikan fenomena ini, al-Marakisyi dalam al-Mu’jab fi Talkhish Akhbar al-Maghrib menulis,

“Tidak ada ulama yang bisa mendapatkan tempat di pemerintahan kecuali orang-orang yang membidangi fikih madzhab Maliki. Pada masa itu, kitab fikih Malikiyah disebarluaskan dan masyarakat diwajibkan mengamalkannya. Kitab-kitab selain Malikiyah disingkirkan”

Stagnansi pemikiran Andalusia era Murabithin memang memprihatinkan. Kitab Ihya’ Ulum al-Din karya al-Ghazali pun tidak selamat dari pembakaran massal ini. Yang lebih mengerikan, ulama fikih pada saat itu mengeluarkan fatwa mati bagi siapa pun yang menyimpan karya-karya al-Ghazali. Konservatisme tersebut otomatis memantik perlawanan dari kalangan oposisi. Pada tahun 1152 M, muncullah revolusi kaum oposisi yang menyerukan pembaharuan pemikiran yang dipimpin oleh Ibn Tumart. Ibn Tumart adalah cendekiawan tercerahkan yang pernah berguru pada al-Ghazali, Abi Bakar al-Syasyi, dan Ibn Abd al-Jabbar di Baghdad, Abi Bakar al-Tharthusyi di Mesir, dan Ibn Hamdin di Cordoba. Dengan tekat mewujudkan perubahan sosial keagamaan, gerakan oposisi berhasil menumbangkan Dinasti Murabithin dan mendirikan Dinasti Muwahidin.

0

Silahkan Tulis Komentar Anda ...